Ilmu Tauhid

Cahaya Tauhid

Ahlussunah Wal Jama’ah

اهل السنة والجماعة

Hukum Akal

Hukum adalah menetapkan satu perkara dan menolak perkara lainnya. Hakim adalah orang yang memutuskan suatu perkara.

Secara global hukum dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Hukum Syar'i adl ketetapan hukum yang diajarkan oleh Baginda Rosulloh SAW yang disampaikan oleh Malaikat Jibril AS.

Muatan Hukum Syar'i : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram.

Hakimnya adalah Beliau Shohibussyar'i sendiri (Rosullulloh SAW). Menolak hukum syar'i = Kafir.

2. Hukum Akal adl ketetapan hukum yang ditemukannya dengan cara dipikir dan dilakukan dengan tanpa percobaan.

Muatan Hukum Akal :

a) Wajib = Apa-apa yang tidak pernah ditemukan oleh akal tiadanya.

Wajib menurut hukum akal dibagi menjadi 2, yaitu:

* Wajib Nadhori (butuh dipikir). Ctr; Adanya Alloh SWT.

* Wajib Dhoruri (tanpa dipikir). Ctr; Adanya Jirim itu menempat, terkena arah, gerak/diam, dsb.

b) Mustahil = Apa-apa yang tidak pernah ditemukan oleh akal adanya.

Mustahil menurut hukum akal dibagi menjadi 2, yaitu:

* Mustahil Nadhori (butuh dipikir). Ctr; Adanya Tuhan itu baru, ada dengan sendirinya, dsb.

* Mustahil Dhoruri (tanpa dipikir). Ctr; Adanya Jirim itu tiada menempat, tiada gerak/diam, dsb.

c) Jaiz = Apa-apa yang sah ditemukan oleh akal baik adanya maupun tiadanya.

Jaiz menurut hukum akal dibagi menjadi 2, yaitu:

* Jaiz Nadhori (butuh dipikir). Ctr; Adanya mahluk.

* Jaiz Dhoruri (tanpa dipikir). Ctr; Adanya perempuan itu hamil (boleh-boleh saja_tidak wajib/mustahil).

Hakim yang menetapkan perkara Hukum Akal adl Shohibul Aqli itu sendiri (orang yang punya akal). Menolak hukum akal = Gila.

3. Hukum Adiy/Adat (Kebiasaan) adl ketetapan hukum yang ditemukannya dengan percobaan secara berulang-ulang.

Ctr : Adanya kita minum kopi, adanya kita "melek". Adanya makan, adanya kenyang. dll.

Hakim yang menetapkan perkara dalam Hukum adiy/Adat adl Shohibul Adiy. Menolak Hukum Adat = Musnah.

77 Cabang Iman

Ibarat sebuah pohon, iman itu memiliki cabang-cabang. Imam Al-Baihaqi, salah seorang terkemuka, mendaftar 77cabang iman. Anda tinggal mencocokkan apakah semuanya ada dalam diri Anda. Ataukah masih banyak yang belum melekat pada diri Anda. Mari kita lihat apa sajakah ketujuh puluh tujuh cabang tersebut.

1. Iman kepada Allah Azza wa Jalla
2. Iman kepada para rasul Allah seluruhnya
3. Iman kepada para malaikat
4. Iman kepada Al-Qur’an dan segenap kitab suci yang telah diturunkan sebelumnya
5. Iman bahwa qadar – yang baik ataupun yang buruk – adalah berasal dari Allah
6. Iman kepada Hari Akhir
7. Iman kepada Hari Berbangkit sesudah mati
8. Iman kepada Hari Dikumpulkannya Manusia sesudah mereka dibangkitkan dari kubur
9. Iman bahwa tempat kembalinya mukmin adalah Surga, dan bahwa tempat kembali orang kafir adalah Neraka
10. Iman kepada wajibnya mencintai Allah
11. Iman kepada wajibnya takut kepada Allah
12. Iman kepada wajibnya berharap kepada Allah
13. Iman kepada wajibnya tawakkal kepada Allah
14. Iman kepada wajibnya mencintai Nabi saw
15. Iman kepada wajibnya mengagungkan dan memuliakan Nabi saw
16. Cinta kepada din, sehingga ia lebih suka terbebas dari Neraka daripada kafir
17. Menuntut ilmu, yakni ilmu syar’i
18. Menyebarkan ilmu, berdasarkan firman Allah : “Agar engkau menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya”
19. Mengagungkan Al-Qur’an, dengan cara mempelajari dan mengajarkannya, menjaga hukum-hukumnya, mengetahui halal haramnya, memuliakan para ahli dan huffazh-nya, serta takut pada ancaman-ancamannya
20. Thaharah
21. Sholat lima waktu
22. Zakat
23. Puasa
24. I’tikaf
25. Haji
26. Jihad
27. Menyusun kekuatan fii sabilillah
28. Tegar di hadapan musuh, tidak lari dari medan peperangan
29. Menunaikan khumus
30. Membebaskan budak dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
31. Menunaikan kaffarat wajib : kaffarat pembunuhan, kaffarat zhihar, kaffarat sumpah, kaffarat bersetubuh di bulan Ramadhan ; demikian pula fidyah
32. Menepati akad
33. Mensyukuri nikmat Allah
34. Menjaga lisan
35. Menunaikan amanah
36. Tidak melakukan pembunuhan dan kejahatan terhadap jiwa manusia
37. Menjaga kemaluan dan kehormatan diri
38. Menjaga diri dari mengambil harta orang lain secara bathil
39. Menjauhi makanan dan minuman yang haram, serta bersikap wara’ dalam masalah tersebut
40. Menjauhi pakaian, perhiasan, dan perabotan yang diharamkan oleh Allah
41. Menjauhi permainan dan hal-hal sia-sia yang bertentangan dengan syariat Islam
42. Sederhana dalam penghidupan (nafkah) dan menjauhi harta yang tidak halal
43. Tidak benci, iri, dan dengki
44. Tidak menyakiti atau mengganggu manusia
45. Ikhlas dalam beramal karena Allah semata, dan tidak riya’
46. Senang dan bahagia dengan kebaikan, sedih dan menyesal dengan keburukan
47. Segera bertaubat ketika berbuat dosa
48. Berkurban : hadyu, idul adh-ha, aqiqah
49. Menaati ulul amri
50. Berpegang teguh pada jamaah
51. Menghukumi diantara manusia dengan adil
52. Amar ma’ruf nahi munkar
53. Tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa
54. Malu
55. Berbakti kepada kedua orang tua
56. Menyambung kekerabatan (silaturrahim)
57. Berakhlaq mulia
58. Berlaku ihsan kepada para budak
59. Budak yang menunaikan kewajibannya terhadap majikannya
60. Menunaikan kewajiban terhadap anak dan isteri
61. Mendekatkan diri kepada ahli din, mencintai mereka, dan menyebarkan salam diantara mereka
62. Menjawab salam
63. Mengunjungi orang yang sakit
64. Mensholati mayit yang beragama Islam
65. Mendoakan orang yang bersin
66. Menjauhkan diri dari orang-orang kafir dan para pembuat kerusakan, serta bersikap tegas terhadap mereka
67. Memuliakan tetangga
68. Memuliakan tamu
69. Menutupi kesalahan (dosa) orang lain
70. Sabar terhadap musibah ataupun kelezatan dan kesenangan
71. Zuhud dan tidak panjang angan-angan
72. Ghirah dan Kelemahlembutan
73. Berpaling dari perkara yang sia-sia
74. Berbuat yang terbaik
75. Menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua
76. Mendamaikan yang bersengketa
77. Mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga mencintainya untuk dirinya sendiri, dan membenci sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga membencinya untuk dirinya sendiri

AL-AQA'ID ( Aqidah Keyakinan )

 Definisi
Aqa'id adalah perkara-perkara yang hati anda membenarkannya, jiwa anda menjadi tenteram karenanya, dan ia menjadikan rasa yakin pada diri anda tanpa tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
 Tingkatan Keyakinan Manusia
Aqidah, ada yang mentalaqqi aqidah itu begitu saja dan meyakininya karena adat dan tradisi. Model pemahaman semacam ini sangat rawan untuk diserang oleh kebimbangan, terutama jika ia menemui aneka bentuk syubhat. Ada pula yang sampai menganalisa dan berpikir, sehingga dengan itu bertambahlah imannya dan semakin kuat keyakinannya. Sementara itu ada juga yang terus-menerus melakukan analisa dan proses perenungan, berusaha dengan sunguh-sungguh untuk taat kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya, dan berupaya membaikkan ibadahnya. Saat itulah lentera hidayah akan memancar dalam kalbunya, sehingga ia bisa memandang dengan cahaya bashirahnya. Maka sempurnalah imannya, paripurnalah keyakinannya, dan semakin teguhlah hatinya. "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya." (Muhammad: 17)
 Penghargaan Islam Kepada Akal
Asas aqidah islam -sebagaimana keseluruhan hukum-hukum syara' adalah kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya. Kendati demikian, keseluruhan dari aqidah ini mendapat pembenaran dari akal dan dikukuhkan oleh analisa yang benar. Oleh karena itulah, Allah memuliakan akal dengan menjadikannya sebagai salah satu syarat mukallaf (pemikul beban syariat). Islam menjadikannya sebagai faktor adanya taklif (kewajiban menjalankan agama) dan memerintahkannya untuk selalu meneliti, menganalisa, dan berpikir.
Allah swt. Berfirman. "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orangorang yang tidak beriman. " (Yunus: 101) "Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan." (Qaaf 6-11). 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (Ali Imran: 190)
 Bagian-bagian Aqidah Islamiyah
Aqidah islamiyah itu dibagi menjadi empat bagian pokok, yang setiap bagian mempunyai banyak cabang (yang menjelaskannya).
1. Al-Ilahiyyat. Bagian ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt. dari segi sifat-sifat, asma', dan perbuatan-perbuatan-Nya, dan ditambah dengan apa yang harus diyakini seorang hamba perihal Tuhannya.
2. An-Nubuwwat. Bagian ini membahas segala sesuatu yang terkait dengan para nabi -semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada mereka- dari sisi sifat-sifat, kema'shuman, tugas, dan urgensi kebutuhan kepada risalah mereka. Yang juga termasuk dalam bagian ini adalah apa yang berhubungan dengan para wali, mukjizat dan karamah, serta kitab-kitab samawi.
3. Ar-Ruhaniyyat, Bagian ini membahas apa saja yang berhubungan dengan alam supra. natural, seperti malaikat, jin, dan ruh.
4. As-Sam'iyyaat. Ini berkaitan dengan kehidupan di alam barzakh dan kehidupan akhirat, seperti kondisi di alam kubur, tanda-tanda hari Kiamat, hari Kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan.


BAGIAN PERTAMA: AL-ILAHIYYAT
1. Dzat Allah Tabaraka wa Ta'ala
Ketahuilah wahai saudaraku, -semoga Allah menunjukkan kita kepada kebenaranbahwa Dzat Allah itu jauh lebih besar dari yang bisa digambarkan oleh akal manusia, dan lebih besar dari apa yang terbersit dalam pemikiran manusia. Karena, betapapun tinggi dan cerdasnya pengetahuan akal manusia, ia tetap saja terbatas oleh kekuatan dan kemampuannya.
Berpikir tentang Dzat Allah Dari lbnu Abbas ra. bahwa suatu kaum berpikir tentang dzat Allah swt., maka Rasulullah saw. bersabda, "Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan memikirkan (dzat) Allah, Karena kalian tidak mungkin akan mampu memperhitungkan kadarnya."
Dikatakan kepada Yahya Bin Mu'adz, "Beritahukan kepadaku tentang Allah!" Beliau menjawab, "Dia adalah Allah, Ilah yang Maha Esa". Dikatakan kepada beliau lagi, "Bagaimana Dia (Allah)?" Beliau menjawab, "Dia Sang Raja diraja Yang Mahakuasa." Beliau ditanya lagi, "Di mana Dia?" Beliau menjawab, Dia benar-benar mengintai." Sang penanya tadi berkata, "Saya tidak menanyakan soal itu," Beliau berkata, 'Apa yang selain itu adalah sifat makhluk, sedangkan sifat-sifat-Nya adalah apa yang telah kuberitahukan kepadamu. Maka batasi keinginanmu untuk mengetahui keagungan Rabbmu dengan cara memikirkan makhluk-makhluk-Nya dan berpegang teguh kepada berbagai konsekuensi dari sifat-sifat-Nya.

2. Asmaul Husna
Dari Abu Hurarirah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Tidaklah seseorang menghafalnya kecuali ia akan masuk surga. Dan Dia itu witr (ganjil) dan mencintai yang ganjil." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dengan menambahkan, "Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Sang Raja diraja, Mahasuci, Maha Memberi rasa aman, Maha Membenarkan janji, Maha Menguasai, Mahamulia. Mahaperkasa, Mahasombong, Maha Mencipta, Maha Membuat, Maha Pembentuk, Maha Pengampun, Maha Pemaksa, Maha Pemberi, Maha Menganugerahi rezeki, Maha Pembuka (penakluk), Maha Mengetahui, Maha Pencabut, Maha Meluaskan, Maha Menjatuhkan, Maha Mengangkat, Maha Memuliakan, Maha Menghinakan, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Menetapkan hukum, Maha Adil. Maha Halus (lembut), Maha Waspada, Maha Penyantun, Maha Agung, Maha Pengampun, Maha Pembalas (rasa syukur), Mahatinggi, Mahabesar, Maha Memelihara, Maha Pemberi kecukupan, Maha Menjamin, Mahaluhur, Maha Pemurah, Maha Meneliti, Maha Mengabulkan (doa), Mahaluas, Mahabijaksana, Maha Mencinta, Mahamulia, Maha Membangkitkan, Maha Menyaksikan, Mahabenar Maha Memelihara perwakilan, Mahakuat, Mahakokoh, Maha Melindungi, Maha Terpuji, Maha Menghitung, Maha Memulai, Maha Mengulangi, Maha Menghidupkan, Maha Mematikan, Mahahidup, Maha berdiri sendiri, Mahakaya, Mahamulia, Mahaesa, Maha Tempat bergantung, Mahakuasa, Maha Menentukan, Maha Mendahulukan, Maha Mengakhirkan, Mahaawal, Mahaakhir, Mahanyata, Maha Tersembunyi, Maha Menguasai, Mahasuci, Maha Dermawan, Maha Menerima taubat, Maha Penyiksa, Maha Pemaaf, Maha Pengasih, Maha Menguasai kerajaan, Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan, Maha Mengadili, Maha Mengumpulkan, Mahakaya, Maha Pemberi kekayaan, Maha Mencegah, Maha Memberi kemudharatan, Maha Pemberi manfaat, Maha Bercahaya, Maha Pemberi petunjuk, Maha Pencipta yang baru, Mahakekal, Maha Pewaris, Mahalurus, dan Maha Penyabar."

PEMBAHASAN SEPUTAR ASMAUL HUSNA
1. Asma-asma Tambahan dari yang Sembilan Puluh Sembilan
Yang sembilan puluh sembilan ini tidaklah mencakup semua yang terkait dengan asma Allah. Bahkan ada hadits-hadits lain yang mengungkap asma lain selain yang sembilan puluh sembilan tadi. Maka ada hadits lain yang menyebutkan Al-Hannaan (Mahakasih), Mannaan (Maha Memberi Anugerah), AI-Badii' (Maha Mencipta yang baru), juga terdapat asma lain Al-Mughiits (Maha Memberi pertolongan), Al-Kafiil (Maha Melindungi), Dzut Thaul (Memiliki Kekuasaan), Dzul Ma'aarij (Memiliki Tempat-tempat yang tinggi), Dzul FadhI (Yang Memiliki keutamaan), Al-Khallaaq (Yang Memiliki Balasan). Abu Bakar bin Al-Arabi dalam Syarh At-Tirmidzi mengisahkan dari para ulama, ia mengatakan, "Sesungguhnya jika digabungkan asma-asma Allah dari AI-Our'an dan Sunah, maka semuanya berjumlah seribu asma."

2. Hadits-hadits yang di Dalamnya Terdapat Lafal-lafal yang Menunjukkan Asma-asma Allah dalam Bentuk Majaz (Kiasan)
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, "Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah itu masa." (HR. Muslim) Juga hadits Aisyah ra., "Biarkan dia merintih, karena sesungguhnya rintihan itu adalah asma Allah yang membuat orang sakit lega karenanya." Disebutkan pula oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam AI-Jami' Ash-Shaghir dari ArRafi'i; dan beliau menyebut hadits itu hasan, bukan riwayat Muslim, juga bukan hadits dari Abu Hurairah, sebagaimana banyak manusia yang salah dalam hal ini.
An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, "Artinya jangan mencela yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Jika kalian mencela yang menyebabkan terjadinya peristiwa, maka sama saja celaan itu tertuju pada Allah. Karena Allahlah yang menyebabkan dan menurunkan peristiwa tadi. Sedangkan masa atau zaman, mereka sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanyalah salah satu dari sekian makhluk Allah. Sementara maksud hadist kedua: "Maka sesungguhnya rintihan adalah pengaruh dari kekuasaan Allah yang bisa melegakan orang yang sakit." Demikianlah makna-makna yang menunjukkan bahwa ada makna lain yang menyertainya.

3. At-Tauqif (Menerima Apa Adanya) dalam Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya
Ketahuilah bahwa jumhur kaum muslimin bersepakat untuk tidak boleh menentukan nama atau sifat bagi Allah yang tidak tercantum dalam syariat, dengan maksud menjadikannya sebagai asma Allah, meski merasa itu sebuah kesempurnaan. Maka kita tidah boleh mengatakan, 'Allah itu insinyur alam yang agung ini," juga tidak boleh kita katakan, 'Allah itu 'general manajer' bagi semua urusan makhluk." ini tidak boleh, jika nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah itu kemudian dijadikan sebagai istilah baku bagi-Nya dan dianggap sebagai bagian dari asma dan sifat-Nya. Akan tetapi, jika nama-nama itu disebut dalam ungkapan kata untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman dalam rangka menjelaskan af'al Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah.

4. Alamiyah dan Washfiyyah (Keaslian Nama dan Bentukannya dengan Pensifatan)
Pada Asma-asma Allah Di antara asma-asma yang telah disebut di muka itu ada satu nama yang menunjukkan dzat yang suci yakni lafdhul jalalah 'Allah". Sementara asma-asma lainnya adalah merupakan interpretasi makna sifat-sifat. oleh karena itu, asma-asma tadi bisa menjadi khabar (keterangan) bagi lafdzul jalalah. Namun apakah lafdzul jalalah itu musytaq (terambil dari kata lain) atau tidak? Di sini ada perbedaan pendapat, namun tidak sampai berpengaruh kepada aspek operasional. Cukuplah bagi kita untuk mengetahui bahwa ismudz dzat (nama asal untuk dzat) adalah nama yang satu tadi (baca: Allah) sementara nama-nama yang lain itu terkait dengan pensifatan (kepada-Nya).

5. Karakteristik Asmaul Husna
Sebagian orang mengatakan bahwa setiap asma dari asma-asma Allah itu mempunyai karakteristik dan rahasia-rahasia yang berhubungan dengan penyebutannya secara panjang atau ringkas. Bahkan sebagian ada yang melampaui batas, dalam hal ini sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa setiap asma itu ada khadam spiritual yang selalu membantu siapa saja yang kontinyu dalam berdzikir dengannya.

6. Asma Allah yang Agung
Dalam banyak hadits terdapat asma Allah yang agung, Di antaranya:
1. Dari Buraidah ra. berkata, Nabi Muhammad mendengar seorang laki-laki berdoa seraya. berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa aku bersaksi bahwa Engkau adalah Allah yang tiada ilah selain Engkau, Yang Mahaesa dan tempat bergantung, Yang tidak berputera dan tidak diputerakan, Dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya," Buraidah berkata, "Maka Rasulullah bersabda, 'Dan demi Dzat yang Jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang itu lelah memohon kepada Allah dengan asma-Nya yang agung. Yang Jika (seseorang) berdoa dengannya Allah akan mengabulkan; dan jika memohon dengannya, Allah akan memberi."
2. Dari Anas Biri Malik ra. berkata, Nabi Muhammad saw. masuk masjid seraya mendapati seseorang telah shalat. orang itu berdoa dan berkata dalam doanya, "Ya Allah, tiada ilah selain Allah, Engkaulah Yang Maha Memberi anugerah, Pencipta langit dan bumi, Pemilik keagungan dan kemuliaan." Maka Rasulullah bersabda, "Tahukah kalian dengan apa ia berdoa kepada Allah? Ia berdoa kepada Allah dengan asma-Nya yang agung, yang jika berdoa dengannya, Allah akan mengabulkan dan jika memohon dengannya Allah akan memberi." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan ibnu Majah)

SIFAT-SIFAT ALLAH TA'ALA
1. Sifat-sifat Allah dalam Pandangan Akal
Secara global, anda akan mendapati jiwa anda dipenuh oleh aqidah dan keyakinan ini, yakni bahwa Pencipta dan Pengatur alam ini memiliki semua sifat kesempurnaan di atas apa saja yang pernah tergambar dalam akal manusia yang lemah ini dan terbebas dari semua sifat kekurangan. Anda juga akan melihat akidah ini sebagai sebuah inspirasi nurani untuk nurani anda dan sebagai insting jiwa untuk jiwa anda,
"Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus." (Ar-Rum: 30)
Berikut beberapa comtoh konkritnya: Pertama, udara yang kita gunakan untuk bernapas ini terdiri dari beberapa unsur. Di antaranya ada dua bagian yang penting, ada yang baik untuk pernapasan manusia yang oleh para ahli kimia disebut oksigen, ada pula yang berbahaya yang disebut karbondioksida. Di antara keterkaitan antar kesatuan di alam wujud yang menakjubkan ini adalah bahwa bagian yang berbahaya bagi manusia, ternyata digunakan untuk bernapas oleh tumbuh-tumbuhan dan itu bermanfaat baginya. Pada saat manusia menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, tumbuhtumbuhan melakukan hal yang sebaliknya, yakni menghirup karbondioksida dan mengeluarkan oksigen. Coba lihatlah ikatan kerjasama yang rapi antara manusia dengan tumbuh-tumbuban dalam berbagai kebutuhan kehidupan yang terpenting bagi keduanya, yakni bernapas.
Kedua, anda makan makanan. Ternyata makanan itu terdiri dari berbagai unsur nabati dan hewani. oleh para pakar ia dibagi menjadi zat-zat makanan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Maka anda akan melihat bahwa ludah bekerja untuk meleburkan sebagian protein dan melarutkan zat gula dan apa saja yang membutuhkan pelarutan. Sementara itu, usus besar bekerja mencerna karbohidrat dari daging, nasi, dan yang sejenisnya. Lalu Empedu yang dihasilkan oleh lever bekerja menghaluskan lemak dan membaginya kepada bagian-bagian kecil yang memungkinkan untuk diserap oleh tubuh. Setelah itu tibalah giliran pankreas. Ia mengeluarkan empat enzim (lipase, amilase, tripsin, dan insulin, pent.) yang masing-masing bekerja membantu kesempurnaan dari proses pencernaan ketiga zat tadi (karbobidrat, protein, dan lemak). Sementara enzim yang keempat bekerja mengubah susu menjadi keju. Coba renungkanlah suatu keterikatan kerja yang mengagumkan ini, antara unsur-unsur yang ada dalam tubuh manusia dan zat-zat makanan nabati dan hewani dari beragam jenis makanan yang dimakan oleh manusia.
Ketiga, Anda lihat bunga yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan Lihatlah betapa bunga itu memiliki daun-daun yang indah, menarik, dan berwarna warni. Jika anda bertanya kepada para ahli biologi tentang hikmah dari itu semuanya, niscaya mereka akan menjawab itu semua berfungsi untuk menggoda lebah dan kumbang yang kerjanya menghisap madu bunga- agar mau hinggap di atasnya. Sehingga, tatkala kumbang atau lebah tadi bertengger di atas benang sari yang ada di bunga tadi, ia menjatuhkan serbuk sari yang ada di benang sari ke kepala putik. maka sempurnalah jalannya penyerbukan. Lihatlah bagaimana bunga-bunga yang indah ini bisa menjadikan sebuah rangkaian hubungan yang serasi antara tumbuhtumbuhan dan hewan, sehinggga hewan bisa membantu tumbuh-tumbuhan dalam proses penyerbukan dalam rangka pembuahan.
Setiap yang ada di di alam ini akan memberitahukan kepada anda tentang adanya sebuah hikmah dan iradah yang tinggi, dominasi yang kuat dan hukum-hukum alam pada puncak ketelitian dan proporsionalitas yang berlaku. Tuhan dari hikmah ini, Sang Pemilik keagungan ini, Sang Peletak undang-undang dan hukum-hukum ini tidak lain adalah: Allah.
Allah berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tandatanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya terdapat tandatanda bagi kaum yang mendengarkan. Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya." (Ar-Rum: 20-24)

2. Globalitas Sifat-sifat Allah dalam Al-Qur'an
Ayat-ayat Al-Qur'an telah mengisyaratkan adanya sifat-sifat wajib bagi Allah dan sifat-sifat itu merupakan tuntutan kesempurnaan uluhiyah-Nya.
 Wujud Allah.
Allah berfirman, "Allahlah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan, Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya) menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu. Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan -pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang memikirkan. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan apa yang tidak bercabang. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (Ar-Ra'd: 2-4)
"Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Dan Dialah yang menciptakan dan mengembangbiakkan kamu di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan dialah yang mengatur pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?" (AlMukminun: 78-80).
Semua ayat di atas menjelaskan kepada anda tentang sifat wujud bagi Allah. Dan hal itu secara argumentatif dibuktikan dengan af'al-af'al-Nya dalam mengatur urusan alam yang menakjubkan itu.

 Qidam dan Baqa'.
Allah berfirman, "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al-Hadid: 3).
"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah tuhan apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Baginyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (AIQashash: 88)
"Semua yang ada di bumi itu pasti binasa. Dan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (ArRahman: 26-27)

 Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri Sendiri)
Allah berfirman, "Hai manusia, kamulah yang berkehendak (butuh) kepada Allah, dan Allahlah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji." (Fathir: 15)
"Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi, dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri, dan tidaklah aku mengambil orangorang yang menyesatkan itu sebagai penolong." (AlKahfi: 51)

 Wahdaniyat
Allah berfirman, 'Janganlah kamu menyembah dua tuhan, sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Mahaesa, maka hendaklah kepadaKu saja kamu takut.' Dan kepunyaanNyalah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan untuk-Nyalah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertaqwa kepada selain Allah? Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (An-Nahl: 51-53)
"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, 'Bahwa Allah adalah satu dari yang tiga,' padahal sekali-kali tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Mahaesa Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksa yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Maidah: 73-74)
Dan ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa Allah itu esa dalam dzat-Nya, esa dalam sifat-sifat-Nya, esa dalam af’al dan perbuatan-Nya. Tidak ada rabb selain Dia dan tiada sesembahan kecuali Dia.

 Qudrah (kemahakuasaan) Allah
Allah berfirman, "Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) sampailah kamu kepada Kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya tidak lagi mengetahui sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat di bumi ini kering, kemudian apabila telah mati kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, Dan sesungguhnya hari Kiamat itu pastilah datang, dan tak ada keraguan padanya dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur." (Al-Hajj: 5-7)
"Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan ciri mereka sendiri, dan tidaklah aku mengambil orang-orang Yang menyesatkan itu sebagai penolong." (AlKahfi: 51)
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit, dari Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Makakuasa." (AlFurqan: 53-54)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan kebesaran qudrah-Nya, kemegahan, dan keagungan-Nya.

 Iradah Allah
Allah berfirman, "Sesungguhnya perintah-Nya apabila menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah,' maka terjadilah ia." (Yasin: 82)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu. Maka sudah sepantasnya beriaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu dengan sehancur-hancurnya (Al-Isra': 16)
Dan ayat-ayat lain yang mengisyaratkan penegasan akan iradah Allah dan bahwa iradah-Nya berada di atas segala bentuk iradah dan kehendak yang ada. "Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah." (Al-Insan: 30)

 Ilmu Allah
Firman Allah, "Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, serta bagi-Nya segala puji di akhirat. Dan Dialah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dialah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun." (Saba': 1-2)
"Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang di bumi, mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakanDan Allah Maha Mengetahui segala isi hati." (At-Taghabun: 4)
Berkenaan dengan cerita tentang Luqman yang berwasiat kepada putranya, Allah berfirman, "(Luqman berkata),'Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui." (Luqman: 16)
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari AlQur'an serta kamu tidak mengerjakan satu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu walaupun sebesar dzarah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (laun mahfuzh)." (Yunus: 61)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan keluasan ilmu (Kemahatahuan) Allah dan lingkup penguasaanNya akan segala sesuatu, yang sedikit maupun yang banyak, yang kecil maupun yang besar.





 Hayat (Kemahahidupan) Allah
Allah berfirman, "Allah tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi." (Al-Baqarah: 255)
"Alif lam mim. Allah tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelum Al-Qur'an, menjadi petunjuk bagi manusia dan Dia menurunkan AL-Furqan." (Ali lmran: 1-3)
Dan masih banyak lagi ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah tabaraka wa ta'ala memiliki sifat kekekalan hidup yang sempurna, tiada satu pun yang melebihi kesempurnaannya.

 Sama' dan Bashar Allah
Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengarkan soal-jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Al-Mujadilah: 1)
"Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertaqwa? Bagaimana pendapatmu Jika Jika orang yang melarang itu berdusta dan berpaling? Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah Maha Melihat atas segala perbuatannya . (Al-Alaq: 9- 14)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan sifat sama' dan bashar Allah swt.

 Kalam Allah
Allah berfirman, "Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung." (An-Nisa': 164)
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka mengetahui?" (Al-Baqarah: 75). Dan banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat kalam.

Antara Sifat-sifat Allah dan Sifat-sifat Makhluk
Satu hal yang harus dipahami seorang mukmin bahwa makna yang dimaksudkan dalam kandungan lafal pada sifat-sifat Allah berbeda secara diametral dengan makna yang terkandung dalam lafal yang sama pada sifat-sifat makhluk. Maka ketika anda mengatakan bahwa Allah itu 'alim dan ilmu merupakan sifat Allah, anda juga mengatakan fulan 'alim dan ilmu merupakan sifat manusia. Nah, apakah makna yang dimaksud dalarn kalimat ini sama? Sekali-kali tidak akan pernah sama! Sesungguhnya ilmu Allah tidak terhingga kesempurnaannya dan sama sekali tidak bisa diperbandingkan dengan ilmu makhluk.

Dalil-dalil Aqli dan Manthiqi Atas Eksistensi Sifat-sifat Allah
Dalam menetapkan sifat-sifat Allah, para ulama aqidah antara lain bertumpu pada argumen-argumen logika dan analogi dialektika. Hal ini dapat diterima, karena akal merupakan asas ma'rifah dan sebab diturunkannya taklif (kewajiban menjalankan syariat agama). Juga pada syariat yang sama agar tidak ada yang syubhat dan meragukan di dalamnya.
Namun ternyata masalahnya jauh lebih jelas daripada itu. Wujud Allah dan pengukuhan akan sifat-sifat kesempurnaan yang mutlak bagi-Nya adalah deretan aksioma yang pembuktiannya tidak membutuhkan dalil atau argumentasi untuk hal itu, kecuali bagi orang yang sombong dan ada penyakit di hatinya, yang sesungguhnya dalil itu tidak berguna baginya dan hujjah apapun tidak bermanfaat baginya.
Berikut sebagian argumentasi logika, baik yang global maupun yang rinci. Pertama, alam wujud, keagungan, dan keteraturannya menunjukkan wujud sang Pencipta, dengan segala kebesaran dan kesempurnaan-Nya. Kedua, sesungguhnya yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberi. maka jika yang mengadakan alam ini tidak memiliki sifat-sifat kesempurnaan, bagaimana mungkin ada pengaruh dari sifat-sifat itu pada makhluk-Nya? Ketiga, ini lebih khusus bahwa sang Pencipta alam ini esa, tidak berbilang (lebih dari satu). Kalau berbilang, maka itu akan menimbulkan kerusakan, perselisihan, dan perasaan lebih tinggi daripada yang lain. Apalagi permasalahan uluhiyah terletak pada kebesaran dan keagungan, juga apabila salah satu dari yang berbilang itu mendominasi yang lain, maka praktis sifat-sifat yang lainnya tidak berfungsi. Jika mereka bekerja sama, maka sebagian dari sifat mereka akan tidak berfungsi pula. Sementara tidak berfungsinya sifat-sifat uluhiyah itu bertentangan dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
Oleh karena itu, Dia harus esa, tiada tuhan selain Dia. Ini adalah sebagian contoh dari argumen-argumen aqli atas wujud sang Khaliq dan eksistensi dari sifat-sifat-Nya. "Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tidaklah ia mempunyai cahaya sedikit pun." (An-Nur: 40)

Pertanyaan yang Banyak Menghantui Pikiran Manusia
Dalam hadits dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Rasul Allah saw. telah bersabda, "Terus-menerus manusia itu saling bertanya, sampai mengatakan ini, 'Allah menciptakan makhluk, maka siapa yang menciptakan Allah?' Barangsiapa terbersit (dalam benaknya) hal itu, maka ucapkanlah, 'Aku beriman kepada Allah" (HR, Muslim)
Pertanyaan seperti ini banyak menyelimuti jiwa-jiwa sebagian manusia, dan semoga jawaban ini dapat menjelaskannya, insya Allah.
Jika anda menaruh buku di atas meja yang ada di kamar anda, kemudian anda keluar dari kamar dan sesaat kemudian kembali ke kamar tadi, ternyata anda melihat buku yang semula anda taruh di atas meja tadi tiba-tiba sudah berada di dalam laci. Maka anda sangat yakin bahwa ada seseorang yang memindahkannya ke dalam laci, karena anda tahu di antara sifat buku adalah tidak bisa bergerak dan berpindah sendiri. (Statement I)
Seandainya di dalam kamar anda bersama seseorang yang duduk di atas kursi, kemudian anda keluar sesaat kemudian kembali ke kamar tadi, ternyata anda lihat orang tadi duduk di lantai misalnya. Anda tidak mungkin bertanya kepadanya tentang sebab perpindahannya (dari kursi ke lantai). Anda pun tidak yakin ada orang lain yang memindahkannya, karena anda paham bahwa di antara sifat orang tadi adalah ia bisa berpindah sendiri dan tidak membutuhkan Yang lain untuk memindahkannya. (Statemen kedua)
"Ketika makhluk-makhluk ini semuanya ada dan kita tahu di antara sifat dan tabiatnya adalah ia tidak mungkin ada dengan sendirinya, tetapi pasti ada Yang mengadakan, maka kita tahu bahwa yang membuatnya menjadi wujud ini adalah Allah swt. Kesempurnaan uluhiyah berarti ketidakbutuhan Ilah kepada selain-Nya, bahkan di antara sifat-Nya adalah berdiri sendiri. Maka (dengan begitu) kita tahu bahwa Allah wujud dengan sendiri-Nya dan tidak butuh Yang lain untuk mengadakan-Nya. Jika dua statemen Yang ada di atas tadi anda bandingkan, jelaslah posisi maqam (eksistensi Allah) ini dengan akal manusia Yang lebih terbatas. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kesalahan. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pendapat-pendapat Para Pakar Ilmu Eksak dalam Pembuktian Wujud dan Sifat-sifat Allah
1. Descartes, seorang ilmuwan Perancis mengatakan, "Sesungguhnya aku beserta pengakuan akan keterbatasan diriku merasakan akan keharusan adanya dzat yang sempurna. Dan aku harus mempunyai keyakinan bahwa perasaan telah menjadikan dalam dzatku akan bertenggernya dzat sempurna yang memiliki semua sifat kesempurnaan. Dia adalah: Allah.
2. Isac Newton, seorang ilmuwan terkenal dari Inggris dan penemu hukum gravitasi berkata, "Janganlah kalian meragukan adanya pencipta, karena sesungguhnya sangat tidak masuk akal pendapat yang mengatakan bahwa alam ini ada dengan tiba-tiba sebagai hukum adanya wujud alam ini."
3. Hertzel, seorang ahli astronomi dari Inggris mengatakan, "Semakin luas lingkup pengetahuan, akan semakin bertambah argumentasi yang kuat dan pasti akan adanya pencipta azali, yang tidak terbatas kekuasaan-Nya dan tidak berkesudahan. Para ahli geologi, matematika, astronomi, dan fisika telah bersepakat untuk mengukuhkan sebuah gema ilmu, yakni gema akan keagungan Allah semata.
4. Lynich, sebagaimana dikutip oleh Caml Phlamrion, seorang ilmuwan Perancis, dalam bukunya 'Allah di Alam ini" mengatakan, 'Allah yang azali, abadi, Maha Mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu, telah tampak di hadapan saya keindahan ciptaan-Nya, sehingga saya terkagum-kagum dibuatnya. Sungguh, alangkah indah kekuasaan, hikmah, dan ciptaan ini, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Sesungguhnya manfaat-manfaat yang bisa didapat dari ciptaan-ciptaan ini menunjukkan kebesaran rahmat Allah yang diberikan kepada kita, sebagaimana kesempurnaan dan keserasian satu sama lain yang menunjukkan keluasan hikmah-Nya. Demikian pula pemeliharaan ciptaan-ciptaan tadi dari kepunahan, dan tumbuh-kembangnya membuktikan akan kemuliaan serta keagungan-Nya.
5. Herbert Spencer, seorang ilmuwan Inggris, dalam risalahnya tentang pendidikan mengatakan, "Ilmu itu bertentangan dengan khurafat, tetapi tidak bertentangan dengan agama. Terdapat ruh zindiq (mistik sesat) dalam banyak ilmu pengetahuan alam yang tersebar. Akan tetapi ilmu yang benar, yang melampaui informasiinformasi sepenggal dan masuk kedalaman hakekat yang sesungguhnya, berlepas dari ruh semacam tadi. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Konsentrasi kepada (pendalaman) ilmu alam merupakan ibadah dan pengakuan secara tidak langsung, serta penghargaan terhadap ciptaan-ciptaan yang dilihat dan dialami, sekaligus pengakuan akan Penciptanya; bukan hanya sekedar dengan tasbih lisan, tetapi tasbih amal (operasional).
Bukan hanya penghargaan kosong, tetapi penghargaan yang membuahkan pengorbanan waktu, pemikiran, dan amal. ilmu semacam ini tidak meniti jalan feodalisme (baca: pemaksaan) dalam memahamkan manusia akan kemustahilan untuk mengetahui causa prima, yakni Allah. Akan tetapi ia meniti manhaj yang jelas untuk memahamkan kepada kita akan kemustahilan hal itu dan menyampaikan kepada kita akan semua batas yang tidak mungkin bisa dilampaui oleh akal. Kemudian dengan tenang dan penuh keyakinan sampailah pada kesudahan, yakni memperlihatkan kepada kita akan sebuah metodologi yang menunjukkan bahwa kecilnya akal seorang manusia tidak bisa disamakan dengan orang yang melihat (dan bisa menganalisa) setetes air.
Sesuai dengan firman Allah, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Fushilat: 53)

AYAT-AYAT SIFAT DAN HADITS-HADITSNYA
Di dalam Al-Qur'an dan Sunah ada sejumlah ayat dan hadits yang tampak secara lahir mempersamakan dzat Allah swt. dengan makhluk-Nva dalam beberapa sifat mereka.
Beberapa Contoh Ayat Sifat
1. Allah swt. berfirman, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (ArRahman: 26-27), juga ayat-ayat lain, yang menyebut kata "wajah", maka kata itu dinisbatkan kepada Allah swt. Maksudnya adalah dzat-Nya. Berkata Zamakhsyari, "Kata 'wajah' itu mengungkapkan maksud keseluruhan dan eksistensi. Orang-orang miskin Makkah berkata, 'Manakah wajah-wajah Arab yang dermawan itu, yang akan menyelamatkan diriku dari kematian?'" Maksudnya, ia terdidik di bawah asuhan dan penjagaan-Ku.

2. Allah swt. berfirman, "Dan sesungguhnya Kami lelah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu sesuatu yang dilihamkan. Yaitu, 'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuhKu dan musuhnya.'Dan Aku lelah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku-" (Thaha: 37-39)

3. Allah swt. berfirman, "Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa melanggar janjinya, maka akibat dari ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (Al-Fath: 10)
Dan Firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Tangan Allah terbelenggu,' sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang lelah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan22) Allah terbuka Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki." (Al-Maidah: 64)
Maksudnya "dengan pengawasan-Ku. " Berkata Rabi' bin Anas, "Dengan pengawasan dari-Kami, pengawasan dzat yang Maha Melihat." Berkata Ibnu Abbas, "Dengan penjagaan Kami." Maksudnya, Allah mengawasi bai'at mereka lalu membalasnya dengan pahala-Nya. Tangan terbelenggu dan terbuka, sebuah kiasan akan sifat kikir dan dermawan. Maksudnya, Allah mencipta semua itu sendirian, tanpa sekutu dan penolong.

Dalam Memahami Masalah ini, Lahirlah Beberapa Kelompok
1. Sekelompok orang mengambil lahirnya teks sebagaimana adanya. Mereka mempersamakan wajah Allah dengan wajah-wajah makhluk-Nya, tangan Allah dengan tangan-tangan mereka, tawa Allah dengan tawa mereka, begitulah seterusnya sampai mereka mengasumsikan Tuhan sebagai sesosok syaikh (orang tua) dan sebagian yang lain mengasumsikan-Nya sebagai seorang pemuda. Mereka itulah yang disebut sebagai musyabbihah (penyerupaan) atau mujassimah (personifikasi). Mereka sama sekali tidak memahami Islam, dan kata-kata mereka jauh dari kebenaran. Untuk menolak mereka, cukuplah dengan ayat berikut. "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11) Dan firman-Nya, "Katakanlah, Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya." (Al-lkhlash: 1-4)

2. Sekelompok orang ada yang menafikan makna-makna yang terkandung dalam lafal-lafal di atas dalam segala bentuknya. Dengan demikian, mereka ingin menghapuskan kandungan maknanya dari sisi Allah swt. Allah swt. -bagi mereka- tidak berbicara, tidak mendengar, dan tidak melihat. mereka hakekatnya meniadikan sifat-sifat Allah dengan alasan menyucikan dzat-Nya. Mereka itulah yang disebut dengan al-mu'athilah. Sebagian ulama aqidah menyebutnya sebagai al-jahmiyah. Seseorang yang memiliki akal pikiran tidak akan bisa membenarkan kata-kata dan logika berpikir yang rancu ini. Bukankah telah banyak terbukti bahwa ucapan, pendengaran, dan penglihatan pada sebagian makhluk terjadi tanpa adanya alat pengindera? Bagaimana mungkin kalam dzat yang Maha Benar tergantung kepada alat pengindera? Mahasuci Allah dari semua penyifatan itu. Itulah dua kelompok yang tidak perlu diperbincangkan lebih banyak lagi.

MADZHAB ULAMA SALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADITS SIFAT
Adapun ulama salaf (semoga Allah meridhai mereka), mereka berkata, "Kita beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana adanya dan menyerahkan penjelasan tentang maksudnya kepada Allah swt. Lagi pula Rasulullah saw, lelah melarang kita dari itu dalam sabdanya, "Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah, karena kalian tidak bakal menjangkaunya."
Berkata Al-Iraqi, diriwayatkan dari Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah dengan sanad lemah, diriwayatkan oleh Al-Asbahani dalam At-Targhib war Tarhib dengan sanad lebih baik dari itu, juga diriwayatkan oleh Abu Syaikh, dengan kesepakatan di antara mereka semoga Allah meridhai mereka- akan penafian adanya persamaan antara apa yang ada pada Allah dan apa yang ada pada makhluk-Nya.
a. Abul Qasim AI-Lalikai dalam Ushulus Sunnah dari Muhammad bin Al-Hasan, sahabat Abu Hanifah -semoga Allah meridhai mereka- berkata, "Para ahli fiqih, seluruhnya; dari Timur hingga Barat, sepakat tentang keimanan kepada ayat-ayat Qur'an dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh para rawi terpercaya dari Rasulullah saw, tentang sifat Allah tanpa tafsir (interpretasi), washf (mensifati, dalam pengertian menetapkan sifat yang tidak pada tempatnya), dan tasybih. Barangsiapa melakukan interpretasi -saat ini- tentang sebagian darinya, ia telah keluar dari jalan yang dahulu ditempuh oleh Nabi saw. dan telah pula keluar dari jamaah. Demikian itu karena mereka tidak pernah melakukan penyifatan dan interpretasi atasnya. Mereka berfatwa dengan apa-apa yang terdapat pada Kitabullah dan Sunah Rasul, lalu diam."
b. Al-Khallal menyebutkan dalam buku As-Sunnah dari Hanbal, dan Hanbal juga menuturkannya dalam buku-bukunya, seperti buku As-Sunnah wal Mihnah, "Saya (Hanbal) bertanya kepada Abdullah tentang hadits-hadits yang meriwayatkan bahwa Allah swt. turun ke langit dunia 'atau Allah menyaksikan...' atau Allah meletakkan telapak kaki-Nya' atau hadits-hadits lain semisalnya. Berkata Abdullah, "Kita beriman kepadanya dan membenarkannya; tanpa bertanya bagaimana, apa maknanya, dantanpa menolak sesuatu pun darinya. Kita tahu bahwa apa yang datang kepada Rasulullah saw. itu haq (jika dengan sanad yang shahih), kita tidak menolak firmanfirman-Nya dan tidak pula menyifati Allah lebih dari apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya, tanpa batas dan tanpa ujung. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya. "
c. Diriwayatkan dari Abu Bakr Al-Atsram, Abu Amr, dan Abu Abdullah bin Abu Salamah Al-Majisyun, dengan kalimat yang panjang tentang tema ini, lalu mengakhirinya dengan mengatakan, 'Apapun yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan yang disifati oleh lisan Rasul-Nya, kita menyifatinya dengan itu juga. Kita tidak membebani diri dengan sifat-sifat lain selainnya; tidak ini tidak juga itu. Kita tidak menolak kata yang dipakai untuk menyifati dan tidak juga mencari-cari pengertian yang tidak dituturkan." Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa keterlindungan dalam agama adalah jika engkau berhenti (dalam pembahasan) pada suatu titik di mana engkau dihentikan dan tidak melampaui suatu batas yang telah ditetapkan untukmu. Pilar agama ini, sesungguhnya adalah pengenalan atas yang ma'ruf dan pengingkaran atas yang munkar. Keterangan apapun tentang sifat Allah yang telah dibentengi dengan ma'rifah; telah memuaskan benak dan hati nurani; yang aslinya dinukil dari Kitab dan Sunah; dan diwarisi pengetahuannya oleh umat, janganlah takut untuk menyebut dan menyifatinya selama sesuai dengan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dan janganlah mencari-cari interpretasi dengan mengandalkan kemampuan berpikirmu semata. Sedangkan apapun yang diingkari olehmu, tidak kau dapatkan dalam Kitab Tuhanmu, dan tidak pula dalam hadits Nabimu, janganlah engkau membebani dirimu untuk mencari-cari kandungan maknanya dengan pikiranmu dan jangan kau sifati ia dengan lisanmu. 'Diamlah' tentang sesuatu yang Tuhanmu juga 'diam' tentangnya.

MAZHAB ULAMA KHALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADITS SIFAT
Adapun ulama khalaf, mereka berkata, "Kami menetapkan bahwa makna-makna kata dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ini tidak dikehendaki lahirnya. Atas dasar itu, ia boleh-boleh saja dita'wil, dan tidak ada larangan. Mereka pun menta'wil 'wajah' dengan dzat, 'tangan' dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan tujuan memalingkannya dari tasybih.
Berikut adalah contoh-contohnya:
1. Berkata Abu Farj bin Al-jauzi A]-Hanbali dalam bukunya Daf'u Syu'batit Tasybih, Allah berfirman, "Dan tataplah wajah Tuhanmu." (Ar-Rahman: 27). Berkata para ahli tafsir, "Yakni tataplah Tuhanmu." Mereka juga berkata tentang firman Allah, "Mereka menginginkan wajah-Nya," (Al-An'am: 52) sebagai "Menginginkan-Nya". Berkata Adh-Dhahhak dan Abu Ubaidah tentang ayat, "Segala sesuatu itu hancur kecuali wajah-Nya," (Al-Qashash: 88) bahwa ia berarti: "Segala sesuatu hancur, kecuali Dia". Ringkasan dari apa yang dikatakan adalah, "Pengambilan makna ayat secara tekstual adalah sikap, tajsim dan tasybih, karena pengertian tekstual ayat itulah pengertian dasar yang dimaksud. Tidak ada makna hakiki atas kata 'tangan' kecuali anggota tubuh yang berupa tangan. Demikian seterusnya. Adapun ulama salaf, mereka sebenarnya tidak mengambil makna ayat secara tekstual, namun mereka hanya diam tanpa komentar terhadapnya.
2. Berkata Fakhruddin Ar-Razi dalam bukunya Asasut Taqdis, "Ketahuilah bahwa teksteks Al-Qur'an tidak mungkin dipahami secara tekstual karena beberapa hal: Pertama, seperti firman Allah swt., "Dan supaya kamu diasuh di mata (di bawah pengawasan)-Ku," (Thaha: 39) jika dipahami secara tekstual mengandung makna bahwa Musa berada dan menempel di mata Allah itu dan bahkan mengungguli-Nya. Tentu saja pengertian ini tidak dipahami oleh seorang pun yang berakal sehat. Kedua, firman-Nya, "Dan buatlah bahtera itu dengan banyak mata (pengawasan) dan petunjuk Kami," (Hud: 37) mengandung pengertian bahwa alat untuk menciptakan bahtera itu adalah mata itu sendiri. Ketiga, bahwa penetapan kata "a'yun" (banyak mata) untuk satu wajah adalah buruk sekali. oleh karenanya harus dita'wil, yakni dengan mencari kemungkinan -bagi kata ini- dengan kata yang lain, secara sangat hati-hati.
3. Berkata Imam Ghazali di juz pertama dari bukunya Ihya' Ulumuddin, tatkala berbicara tentang penisbatan ilmu zhahir kepada ilmu bathin dan pembagian apa-apa yang diakibatkan olehnya, juga tentang ta'wil dan bukan ta'wil. Pembagian yang ketiga adalah sesuatu yang jika disebut secara apa adanya, dapat dipahami dan tidak ada bahayanya. Namun demikian, ia dikiaskan untuk menimbulkan kesan makna lebih nyata dan agar kejadiannya dapat ditangkap oleh benak pendengar secara. lebih transparan. Misalnya sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya masjid itu mengkerut karena dahak, sebagaimana mengkerutnya kulit karena api. "35) Artinya, masjid yang dimensi ruhnya demikian agung akan terkotori dengan dahak. Makna kesucian masjid yang dikotori oleh dahak diibaratkan sebagai kulit yang terbakar api. Sementara engkau melihat bahwa lantai masjid tetaplah utuh dengan adanya dahak itu. juga sebagaimana sabdanya yang lain, "Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, bahwa Allah akan mengubah kepalanya dengan kepala keledai. "36) Tentu, dari dimensi bentuk ia tidaklah berubah sama sekali, namun dari dimensi makna bisa saja terjadi. Karena kepala keledai di sini tidaklah yang sebenarnya, tetapi yang dimaksud adalah karakternya; yakni pandir dan bodoh. jadi, barangsiapa mengangkat kepalanya sebelum imam, kepalanya seperti kepala keledai dalam pengertian karakter bodoh dan pandirnya. Yang dimaksud di sini adalah kandungan, bukan bentuknya. Kita memahami Iahiriyah makna kata dengan pemahaman lain harus dengan dahi syar'i dan dalil logika. Secara logika, sering kita memahami kandungan lahirnya suatu kata yang tidak mungkin, sebagaimana sabda Rasul saw., "Hati seorang mukmin itu ada di antara dua jari dari jari-jari (Allah) yang Rahman. '37) Karena jika kita periksa hati orang mukmin, jelas tidak ada di sana jari Allah itu. Dengan begitu kita tahu bahwa ia adalah kiasan dari qudrah (kekuasaan), yang ia adalah rahasia dan ruh jari yang tersembunyi. Dikiaskannya kekuasaan dengan jari karena yang demikian adalah realitas yang paling mudah untuk dipahami tentang totalitas kekuasaan.

Antara salaf dan Khalaf Engkau telah mengetahui bahwa mazhab salaf mengenai ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah swt. adalah mengikuti saja apa yang disebutkan tentangnya, tanpa tafsir dan ta'wil. Sedangkan mazhab khalaf, mereka menta'wilnya dengan sesuatu yang tidak menodai kesucian Allah, seperti menyamakanNya dengan makhluk.
Berikut ini penjelasannya dari berbagai sudut:
Pertama, kedua kelompok ini sepakat dalam hal menyucikan Allah dari penyamaan dengan makhluk-Nya. Kedua, semua sepakat bahwa maksud dari kata-kata dalam teks Al-Qur'an maupun hadits Nabi tentang hak-hak Allah bukanlah apa yang tersurat di lahirnya, sebagaimana jika dinisbatkan kepada makhluk. Hal ini berpengaruh kepada sikap sepakat mereka untuk menafikan tasybih. Ketiga, semua pihak mengetahui bahwa lafal itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu yang membersit dalam benak dari hal-hal yang berhubungan dengan pemilik bahasa.
Perbedaan di antara keduanya hanya bahwa khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga kesucian Allah dengan maksud menjaga aqidah orang awam dari keterjerumusan dalam tasybih. Perbedaan semacam ini sebenarnya tidak sampai melahirkan guncangan.
Ringkasnya, ulama khalaf dan salaf telah sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan lahirnya lafal sebagaimana yang dikenal untuk disandarkan kepada makhluk. Ia adalah ta'wil secara global. Mereka juga sepakat bahwa semua bentuk ta'wil, jika bertentangan dengan ushul syari'ah itu tidak boleh. Perbedaan hanya terbatas pada perbedaan lafal yang masih dibenarkan oleh syara’. Persoalan penting yang semestinya harus ditegakkan oleh kaum muslimin sekarang adalah tauhidush shufuf (penyatuan barisan) dan jam'ul kalimah (menghimpun kata) sedapat yang bisa kita lakukan.

***

Ya Allah…
Berkahilah ilmu yang Kau beri, tanamkanlah pemahaman yang benar kepada kami terhadap agama ini… Dan izinkan kami mempersembahkan ilmu yang Kau beri untuk dedikasi tertinggi pada peradaban teragung dan termulia ini, Islam yang kami cintai…
Lingkaran Cahaya, Juli 2010
=Habibah Habibillah=

Penjelasan Ringkas Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah


Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah
Allah ta'ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak
ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi
atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi
menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah
mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al
Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim).
Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan,
seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti
manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala
tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard,
juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati
dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk
dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena
seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak
yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki
dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang
demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada
azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-
Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal
belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'Arsy, langit, manusia, jin,
malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum
terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada
keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa
tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru
(makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
"Allah ta'ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum
ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan
belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala
sesuatu".
Al Imam Fakhruddin ibn 'Asakir (W. 620 H) dalam risalah
aqidahnya mengatakan : "Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-
Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan
"Kapan ada-Nya ?", "Di mana Dia ?" atau "Bagaimana Dia ?", Dia ada
tanpa tempat".
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa
tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal
akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-
Shifat, hlm. 506, mengatakan: "Sebagian sahabat kami dalam
menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah
shalllallahu 'alayhi wa sallam:
Maknanya: "Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan
akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al
Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-
Mu" (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di
bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat".
Hadits Jariyah
Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi
persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak
boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna
yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang
sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama
Ahlussunnah Wal Jama'ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi
dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang
maknanya shahih adalah:
Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya
salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba
sahaya berkulit hitam, dan berkata: "Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba
sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini
mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah
berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: "Ya",
Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya
adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: "Ya", kemudian
Rasulullah berkata: Apakah engkau beriman terhadap hari
kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : "Ya", kemudian
Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia".
Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma' az-
Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih". Riwayat
inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam,
karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk
Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang
lain.
Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas 'Arsy atau ada di
mana-mana
Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas
perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia
(Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada
tanpa tempat" (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al
Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau
di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau
semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani (W. 973 H)
dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali
al Khawwash: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana".
Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa
tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang
maknanya: "Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy (makhluk Allah yang
paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk
menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya" (diriwayatkan oleh Abu Manshur
al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang
maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang
menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana" (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam
kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Allah Maha suci dari Hadd
Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu
yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil
maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka
adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang
terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai
ukuran demikian juga 'Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing
mempunyai ukuran.
Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang
maknanya: "Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita
berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum
beriman kepada-Nya)" (diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W. 430 H)
dalam Hilyah al Auliya', juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya
berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan
bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan
merupakan kekufuran.
Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar
memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah
benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama
Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Allah ada tanpa tempat
dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil".
Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga
tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui
tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia
mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif
bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang
kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena
definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.
Al Imam As-Sajjad Zayn al 'Abidin 'Ali ibn al Husain ibn 'Ali
ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : "Engkaulah Allah yang tidak
diliputi tempat", dan dia berkata: "Engkaulah Allah yang Maha suci dari
hadd (benda, bentuk, dan ukuran)", beliau juga berkata : "Maha suci
Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh" yakni bahwa Allah tidak
menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh
oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah
Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku
jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan
Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al
Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua
perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah).
Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan
Wahdatul Wujud dan Hulul.
Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa
Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas 'Arsy
Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata :
"Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di
langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir". (diriwayatkan oleh al
Maturidi dan lainnya).
Al Imam Syekh al 'Izz ibn 'Abd as-Salam asy-Syafi'i dalam
kitabnya "Hall ar-Rumuz" menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah,
beliau mengatakan : "Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa
Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat
maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya)". Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah
ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram.
Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (W. 597 H) mengatakan dalam
kitabnya Daf'u Syubah at-Tasybih :
Maknanya: "Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat
dan arah maka ia adalah Musyabbih (orang yang menyerupakan Allah
dengan Makhluk-Nya) dan Mujassim (orang yang meyakini bahwa
Allah adalah jisim: benda) yang tidak mengetahui sifat Allah".
Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari
Syarh Shahih al Bukhari mengatakan :
"Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka
yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari
tempat".
Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II,
h. 259 tertulis sebagai berikut: "Adalah kafir orang yang menetapkan
tempat bagi Allah ta'ala ".
Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al
Hushni (W. 829 H), Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis
sebagai berikut : "... hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab
Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah
adalah kafir, Saya (al Hushni) berkata: "Inilah kebenaran yang tidak
dibenarkan selainnya, karena tajsim (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim –benda-) jelas
menyalahi al Qur'an. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah
dan Mu'aththilah (golongan yang menafikan sifat-sifat Allah), alangkah
beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya
(Q.S. asy-Syura : 11) :
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-
Nya dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang
tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya”.
Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut".
Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah
Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya
al Washiyyah berkata yang maknanya: "Bahwa penduduk surga melihat
Allah ta'ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati
dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah)
berada di suatu arah"
Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah
meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta'ala dan ini
menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari
tempat dan arah.
Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk,
Bersemayam atau semacamnya
Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata: "Ar-Rahman
'ala al 'Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat (hakekat)-Nya dan
tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa (sifat-sifat makhluk) adalah
mustahil bagi-Nya" (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma' Wa
ash-Shifat).
Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha
suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di
suatu tempat dan arah dan sebagainya.
Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah
tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya.
Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan
Al Imam asy-Syafi'i -semoga Allah meridlainya– berkata: "Barang
siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini
bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah
musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.
Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang
mengaturnya) maka dia adalah mu'aththil -atheis- (orang yang meniadakan
Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang
menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak
akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang
mentauhidkan Allah); muslim". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan
lainnya)
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim
Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
-semoga Allah meridlai keduanya- berkata: "Apapun yang terlintas dalam
benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang
terlintas dalam benak)" (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan
al Khathib al Baghdadi)
Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah
Benda
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: "Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya
meriwayatkan perkataan asy-Syafi'i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -
semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang
yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda,
mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
"Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak
seperti benda-benda maka ia telah kafir" (dinukil oleh Badr ad-Din az-
Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi'i
dalam kitab Tasynif al Masami' dari pengarang kitab al Khishal dari
kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn
Hanbal). Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari dalam karyanya an-Nawadir
mengatakan : "Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda
maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya".
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota
badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-
321 H) berkata: "Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun
besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).
Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah
penjuru tersebut".
Perkataan al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi di atas merupakan
Ijma' (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada
tiga abad pertama hijriyah).
Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah
maksud dari mi'raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu
dengan-Nya, melainkan maksud mi'raj adalah memuliakan Rasulullah
shalalllahu 'alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban
makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur'an surat al Isra
ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada
Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam sehingga jarak antara
keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat
kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam di saat mi'raj
adalah Jibril 'alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al
Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah 'Aisyah -semoga Allah
meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi'raj Ibnu 'Abbas dan Tanwir al
Miqbas min Tafsir Ibnu 'Abbas karena keduanya adalah kebohongan
belaka yang dinisbatkan kepadanya.
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya
ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah
berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa
dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana
apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah. Hal
ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena
ka'bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para
ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478
H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam
kitabnya Ihya 'Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.
756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.
Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan
bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang
berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau
pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati
makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma'
(konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-
Suyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya,
juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al
Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H), Syekh
Abdul Qadir al Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati,
mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang
berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah
Wahdah al Wujud dan Hulul.
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia
telah kafir".
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik,
duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah,
berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan
bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa
Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau
mengatakan bahwa kalam Allah yang azali (tidak mempunyai
permulaan) dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang
menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang
tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran.
Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Aqidah Imam Abul Hasan al Asy'ari
Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari (W. 324 H) –semoga Allah
meridlainya- berkata: "Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (diriwayatkan
oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat).

Beliau juga mengatakan : Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak
dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy'ari telah banyak
dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.
"Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta'ala di satu tempat atau di
semua tempat". Perkataan al Imam al Asy'ari ini dinukil oleh al Imam
Ibnu Furak (W. 406 H) dalam karyanya al Mujarrad.
Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad
berkata: "Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir
ayat al Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam
yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran".
Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur'an dan hadits Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang dalam bahasa arab
mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara
zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib
dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur'an
pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu
makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak
menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.
Ayat Istiwa'
Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara
zhahirnya adalah firman Allah ta'ala (surat Thaha: 5):
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau
bersemayam atau berada di atas 'Arsy dengan jarak atau bersentuhan
dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak
seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita,
karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda
sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi (W. 458 H), al
Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki (W. 756 H) dan al Hafizh
Ibnu Hajar (W. 852 H) dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri
dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut
harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras
dengan ayat-ayat Muhkamat.
Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke
dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa
mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim)
yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah
menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut
adalah qahara (menundukkan atau menguasai).
 Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada "al Qur'an dan
Terjemahnya" yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat
penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti ketika
mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk,
bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah:
255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil
maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al 'Aqidah ath-Thahawiyyah.
Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan:
"Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy untuk menampakkan
kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya".
Maka ayat tersebut di atas (surat Thaha: 5) boleh ditafsirkan
dengan qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai
'Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al
Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan
dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan
anak-anak mereka 'Abdul Qahir dan 'Abdul Qahhar. Tidak seorangpun
dari umat Islam yang menamakan anaknya 'Abd al jalis (al jalis adalah
nama bagi yang duduk). Karena duduk adalah sifat yang sama-sama
dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak
berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai 'arsy kemudian
menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali (tidak
mempunyai permulaan) sedangkan 'arsy adalah merupakan makhluk
yang baru (yang mempunyai permulaan). Dalam ayat ini, Allah
menyebut 'arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang
paling besar bentuknya.
Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa'
Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas,
kemudian beliau menjawab:
Maknanya: "Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /
bagaimana (sifat-sifat benda) mustahil bagi Allah". (diriwayatkan oleh
al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat)
Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha
suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan
sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul
adalah tidak benar.
Penegasan Imam Syafi'i tentang Orang yang Berkeyakinan
Allah duduk di atas 'Arsy
Ibn al Mu'allim al Qurasyi (W. 725 H) menyebutkan dalam
karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm
ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia
menukil dari al Qadli Husayn (W. 462 H) bahwa al Imam asy-Syafi'i
menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di
atas 'arsy dan tidak boleh shalat (makmum) di belakangnya.
Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa'
Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para
ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah. Di antaranya adalah al Imam
'Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak (W. 237 H) dalam kitabnya
Gharib al Qur'an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al
Hanafi (W. 333 H) dalam kitabnya Ta'wilat Ahlussunnah Wal Jama'ah,
az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab (W. 340 H) dalam kitabnya
Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafi'i (W. 505 H) dalam al Ihya, al
Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali (W. 597 H) dalam kitabnya Daf'u
Syubah at-Tasybih, al Imam Abu 'Amr ibn al Hajib al Maliki (W. 646 H)
dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi
al Indonesi asy-Syafi'i (W. 1285-1338 H) dalam Mawhibah dzi al Fadll,
Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al Indonesi asy-Syafi'i (W. 1314 H-
1897) dalam kitabnya at-Tafsir al Munir dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa' secara
Zhahirnya
Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara
zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al
Baqarah:
Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya: "ke
arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscaya
Allah ada di sana". Dengan ini berarti keyakinannya saling
bertentangan.3
Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang
sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah
manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut
adalah arah tujuannya maka - di sanalah kiblat Allah
sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid (W. 102 H) murid Ibn
Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi
dalam al Asma' Wa ash-Shifat.
Ayat 35 Surat an-Nur
Dan begitulah seluruh ayat-ayat mutasyabihat harus
dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat dan tidak boleh diambil
secara zhahirnya. Seperti firman Allah ta'ala dalam surat an-Nur: 35
Dia meyakini bahwa Allah ada di atas 'Arsy sesuai dengan zhahir ayat Istiwa' dan
pada saat yang sama ia meyakini bahwa Allah ada di bumi sesuai zhahir ayat 115 surat al
Baqarah ini. Dua keyakinan yang saling bertentangan ini diakibatkan oleh pemahaman secara
zhahir terhadap ayat Mutasyabihat. Jika ia memahami ayat 115 surat al Baqarah ini tidak
secara zhahirnya, mestinya ia juga memahami ayat istiwa tidak' secara zhahirnya.
tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah adalah cahaya atau Allah adalah
sinar. Karena kata cahaya dan sinar adalah khusus bagi makhluk.
Allah-lah yang telah menciptakan keduanya, maka Ia tidak menyerupai
keduanya. Tetapi makna ayat ini, bahwa Allah menerangi langit dan
bumi dengan cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang. Atau
maknanya, bahwa Allah adalah pemberi petunjuk penduduk langit,
yakni para malaikat dan pemberi petunjuk orang-orang mukmin dari
golongan manusia dan jin, yang berada di bumi yaitu petunjuk kepada
keimanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh 'Abdullah ibn Abbas –
semoga Allah meridlainya- salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma' Wa
as-Shifat.
Dengan demikian kita wajib mewaspadai kitab Mawlid al 'Arus
yang disebutkan di dalamnya bahwa "Allah menggenggam segenggam
cahaya wajah-Nya kemudian berkata kepadanya: jadilah engkau
Muhammad, maka ia menjadi Muhammad". Ini adalah kekufuran wal
'iyadzu billah karena menjadikan Allah sebagai cahaya dan nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam bagian dari-Nya. Kitab ini
merupakan kebohongan yang dinisbatkan kepada al Hafizh Ibn al
Jawzi, tidak seorangpun menisbatkannya kepada al Hafizh Ibn al
Jawzi kecuali seorang orientalis yang bernama Brockelmann.
Bagaimanakah Cara Mengenal Allah (Ma'rifatullah) ?
Al Imam ar-Rifa'i berkata: "Batas akhir pengetahuan seorang hamba
tentang Allah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala ada tanpa bagaimana
 (sifat-sifat makhluk) dan ada tanpa tempat". (Disebutkan oleh al
Imam ar-Rifa'i dalam kitabnya Hal Ahl al Haqiqah ma'a Allah).
Karena seandainya Allah bertempat niscaya banyak sekali yang
menyerupainya.
Maka barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya tidaklah diterima ibadahnya sebagaimana perkataan al Imam al
Ghazali: "Tidaklah sah ibadah seseorang kecuali setelah ia mengetahui
Allah yang ia sembah". Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini (W.
471 H) dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, h. 98 mengutip perkataan
al Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- bahwa dia
berkata tentang Allah :
Maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al
kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana".
Al Imam Abu Manshur Al Baghdadi (W. 429 H) dalam kitabnya
al Farq Bayna al Firaq h. 256, berkata: "Sesungguhnya Ahlussunnah telah
sepakat bahwa Allah tidak diliputi tempat dan tidak dilalui oleh waktu".
Al Imam Syekh Abd Allah Ba 'Alawi al Haddad (W. 1132 H)
dalam bagian akhir kitabnya an-Nasha-ih ad-Diniyyah menuturkan:
"Aqidah ringkas yang bermanfaat -Insya Allah ta'ala- menurut jalan golongan
yang selamat. Mereka adalah golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah, golongan
mayoritas umat Islam. Kemudian beliau -semoga Allah meridlainya–
berkata:
Maknanya: "Sesungguhnya Ia (Allah) ta'ala Maha suci dari zaman,
tempat dan maha suci dari menyerupai akwan (sifat berkumpul, berpisah,
bergerak dan diam) dan tidak diliputi oleh satu arah penjuru maupun
semua arah penjuru".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al
Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
Maknanya: "Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang
Allah), maka Allah tidak seperti itu".
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al
Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I'tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn
Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al
Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah
yang merupakan Ijma' (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat
dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta
segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Sebagaimana kita tidak bisa membayangkan suatu masa –
sedangkan masa adalah makhluk- yang di dalamnya tidak ada cahaya
dan kegelapan. Akan tetapi kita beriman dan membenarkan bahwa
cahaya dan kegelapan, keduanya memiliki permulaan. Keduanya tidak
ada kemudian menjadi ada. Allah-lah yang menciptakan keduanya.
Allah berfirman dalam al Qur'an:
Maknanya: "… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"
(Q.S. al An'am: 1)
Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih
utama kita beriman dan percaya bahwa Allah ada tanpa tempat dan
arah serta tidak bisa kita bayangkan.
Imam kita Abu Bakr ash-Shiddiq -semoga Allah meridlainyaberkata
yang maknanya: "Pengakuan bahwa pemahaman seseorang
tidak mampu untuk sampai mengetahui hakekat Allah adalah
keimanan, sedangkan mencari tahu tentang hakekat Allah, yakni
membayangkan-Nya adalah kekufuran dan syirik".
Maksudnya adalah kita beriman bahwa Allah ada tidak seperti
makhluk-Nya, tanpa memikirkan tentang Dzat (Hakekat)-Nya.
Adapun berpikir tentang makhluk Allah adalah hal yang dianjurkan
karena segala sesuatu merupakan tanda akan ada-Nya. Perkataan
Sayyidina Abu Bakr -semoga Allah meridlainya- tersebut diriwayatkan
oleh seorang ahli Fiqih dan hadits al Imam Badr ad-Din az-Zarkasyi
as-Syafi'i (W. 794 H) dan lainnya.
Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan
Wahdatul Wujud
Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah
tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan
tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan
sesuatupun dari makhluk-Nya".4
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinyadalam
kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata: "Barangsiapa yang mengatakan
bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia
telah kafir".
Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi
pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya
aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada)
kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam
kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).
Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua
perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam
hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan
makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam
Inilah kebenaran yang tidak mungkin dibantah dan ditolak. Namun terdapat
sebagian kelompok yang menyalahi pernyataan ulama Ahlussunnah ini, di antaranya yang
dikenal dengan nama Wahidiyyah. Mereka membagi-bagikan selebaran yang memuat perkataan
mereka: yang maknanya : Ya Allah kami memohon kepada-Mu untuk
menenggelamkan kami ke tengah lautan (menyatu dengan- Mu). Redaksi-redaksi semacam ini (bahkan
dalam bahasa Indonesia) juga banyak terdapat dalam majalah mereka. Jelas ini adalah sebuah
kekufuran yang sharih dan menyalahi keyakinan para sufi hakiki.
mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang
disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka".
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud
yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah
sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan
dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran
"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam
keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan
muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia
tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan
menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al
Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib
Abi al 'Alamain.
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah
ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-
Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar-
Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah
menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan
fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib
dijauhi".
Di antara para pendusta yang mengaku sebagai ahli tasawwuf adalah orang yang
bernama Abdullah ad-Daghistani. Ia bukanlah sunni sebagaimana dinyatakan oleh Syekh
Muhammad Zahid an-Naqsyabandi. Abdullah ad-Daghistani keluar dari Daghistan dan
mengaku sebagai seorang sunni, pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyyah padahal sanadnya
terputus, tidak bersambung. Mufti Daghistan terdahulu Sayyid Ahmad ibn Sulaiman Darwisy
Hajiyu memperingatkan umat Islam akan bahaya dan kesesatan Abdullah ad-Dagistani ini.
Abdullah ad-Daghistani punya beberapa pengikut, di antaranya Nazhim al-Qubrushshi.
Nazhim kemudian mempunyai murid, di antaranya Hisyam Qabbani yang menyebut dirinya
al-Haqqani, juga saudaranya 'Adnan Qabbani. Mereka ini termasuk orang yang paling bodoh
tentang agama, dan karenanya para ulama Ahlussunnah memperingatkan masyarakat akan
bahaya dan kesesatan mereka. Bahkan Mufti Tripoli Lebanon menulis komentarnya di
majalah al Afkar agar masyarakat mewaspadai dan tidak tertipu oleh mereka, karena mereka
ini mengaku mengetahui ilmu ghaib dan menganggap bahwa hamba ini adalah bagian dari
Dzat Allah, mereka mengatakan bahwa orang kafir jika membaca al Fatihah maka akan
memperoleh keutamaan dan anugerah dari Allah yang belum pernah diperoleh oleh para nabi,
dan barangsiapa yang membaca ayat.......sekali saja ia akan memperoleh anugerah yang
belum pernah diperoleh olah para nabi dan para wali, serta masih banyak kekufurankekufuran
mereka yang lain. Alhamdulillah para ulama Indonesia, khususnya para pengikut
Thariqah Naqsyabandiyah telah menyadari kesesatan mereka ini dan memperingatkan
masyarakat akan bahaya dan kesesatan mereka. Kesesatan-kesesatan ini bisa dilihat dalam
buku-buku mereka seperti Muhithat ar-Rahmah, al Washiyyah dan lain-lain.
Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah
merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud
(ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam
keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan
meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa
yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab
Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan
Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan
kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-
Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari
para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain.6
Salah seorang yang menyalahi aqidah ini adalah Muhammad Sa'id al Buthi. Dalam
beberapa bukunya dia menegaskan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya (Hulul)
dan bahwa Allah adalah benda (jism). Ia juga menamakan Allah dengan 'illah dan sabab, dan ini
adalah kekufuran sebagaimana dikatakan oleh al Imam Rukn al Islam Ali as-Sughdi, al Imam
an-Nasafi dan lain-lain. Al Buthi menuturkan aqidah sesatnya ini dalam bukunya Kubra al
Yaqiniyyat al Kauniyyah, Min al Fikr wa al Qalb. Dan banyak kesesatan-kesesatan al Buthi yang
lain seperti: bahwa ia mengingkari adanya Bid'ah Hasanah dalam bukunya al Islam Maladz Kull
al Mujtama'at al Insaniyyah. Ia juga mengatakan di majalah al Wahj, edisi Juni 1995: "Apabila ada
teks al Qur'an yang jelas bertentangan dengan ketetapan ilmiah yang jelas, maka saya mengatakan: kita
tidak perlu mentakwil al Qur'an, tetapi kita tinggalkan al Qur'an dan mengambil ketetapan ilmiah
tersebut". Al Buthi juga berkata kepada seorang yang mempraktekkan sihir kemudian datang
kepadanya seorang jin perempuan lalu ia berzina dengannya: "Bacalah mantra-mantramu berulang
kali supaya jin perempuan tersebut datang kepadamu". Lihat Majalah Thabibak, edisi Juli 1998 dan
masih banyak lagi kesesatan-kesesatan al Buthi. Telah banyak para ulama terkemuka yang
mambantahnya, di antaranya adalah al 'Alim al Lughawi (ahli Bahasa Arab), Syekh Nayif al
'Abbas ad-Dimasyqi, Syekh Usamah as-Sayyid asy-Syami, K.H. M. Syafi'i Hadzami (Mantan
Ketua Umum MUI Prop. DKI Jakarta) dan yang lainnya.
www.darulfatwa.org.au