Ilmu Tauhid

Cahaya Tauhid

Ahlussunah Wal Jama’ah

اهل السنة والجماعة

Penjelasan Ringkas Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah


Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah
Allah ta'ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak
ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi
atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi
menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah
mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al
Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim).
Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan,
seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti
manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala
tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard,
juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati
dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk
dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena
seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak
yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki
dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang
demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada
azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-
Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal
belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'Arsy, langit, manusia, jin,
malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum
terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada
keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa
tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru
(makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
"Allah ta'ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum
ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan
belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala
sesuatu".
Al Imam Fakhruddin ibn 'Asakir (W. 620 H) dalam risalah
aqidahnya mengatakan : "Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-
Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan
"Kapan ada-Nya ?", "Di mana Dia ?" atau "Bagaimana Dia ?", Dia ada
tanpa tempat".
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa
tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal
akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-
Shifat, hlm. 506, mengatakan: "Sebagian sahabat kami dalam
menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah
shalllallahu 'alayhi wa sallam:
Maknanya: "Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan
akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al
Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-
Mu" (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di
bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat".
Hadits Jariyah
Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi
persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak
boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna
yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang
sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama
Ahlussunnah Wal Jama'ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi
dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang
maknanya shahih adalah:
Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya
salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba
sahaya berkulit hitam, dan berkata: "Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba
sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini
mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah
berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: "Ya",
Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya
adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: "Ya", kemudian
Rasulullah berkata: Apakah engkau beriman terhadap hari
kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : "Ya", kemudian
Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia".
Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma' az-
Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih". Riwayat
inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam,
karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk
Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang
lain.
Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas 'Arsy atau ada di
mana-mana
Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas
perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia
(Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada
tanpa tempat" (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al
Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau
di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau
semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani (W. 973 H)
dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali
al Khawwash: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana".
Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa
tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang
maknanya: "Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy (makhluk Allah yang
paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk
menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya" (diriwayatkan oleh Abu Manshur
al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang
maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang
menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana" (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam
kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Allah Maha suci dari Hadd
Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu
yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil
maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka
adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang
terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai
ukuran demikian juga 'Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing
mempunyai ukuran.
Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang
maknanya: "Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita
berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum
beriman kepada-Nya)" (diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W. 430 H)
dalam Hilyah al Auliya', juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya
berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan
bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan
merupakan kekufuran.
Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar
memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah
benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama
Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Allah ada tanpa tempat
dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil".
Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga
tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui
tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia
mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif
bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang
kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena
definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.
Al Imam As-Sajjad Zayn al 'Abidin 'Ali ibn al Husain ibn 'Ali
ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : "Engkaulah Allah yang tidak
diliputi tempat", dan dia berkata: "Engkaulah Allah yang Maha suci dari
hadd (benda, bentuk, dan ukuran)", beliau juga berkata : "Maha suci
Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh" yakni bahwa Allah tidak
menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh
oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah
Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku
jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan
Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al
Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua
perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah).
Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan
Wahdatul Wujud dan Hulul.
Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa
Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas 'Arsy
Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata :
"Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di
langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir". (diriwayatkan oleh al
Maturidi dan lainnya).
Al Imam Syekh al 'Izz ibn 'Abd as-Salam asy-Syafi'i dalam
kitabnya "Hall ar-Rumuz" menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah,
beliau mengatakan : "Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa
Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat
maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya)". Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah
ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram.
Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (W. 597 H) mengatakan dalam
kitabnya Daf'u Syubah at-Tasybih :
Maknanya: "Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat
dan arah maka ia adalah Musyabbih (orang yang menyerupakan Allah
dengan Makhluk-Nya) dan Mujassim (orang yang meyakini bahwa
Allah adalah jisim: benda) yang tidak mengetahui sifat Allah".
Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari
Syarh Shahih al Bukhari mengatakan :
"Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka
yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari
tempat".
Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II,
h. 259 tertulis sebagai berikut: "Adalah kafir orang yang menetapkan
tempat bagi Allah ta'ala ".
Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al
Hushni (W. 829 H), Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis
sebagai berikut : "... hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab
Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah
adalah kafir, Saya (al Hushni) berkata: "Inilah kebenaran yang tidak
dibenarkan selainnya, karena tajsim (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim –benda-) jelas
menyalahi al Qur'an. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah
dan Mu'aththilah (golongan yang menafikan sifat-sifat Allah), alangkah
beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya
(Q.S. asy-Syura : 11) :
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-
Nya dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang
tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya”.
Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut".
Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah
Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya
al Washiyyah berkata yang maknanya: "Bahwa penduduk surga melihat
Allah ta'ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati
dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah)
berada di suatu arah"
Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah
meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta'ala dan ini
menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari
tempat dan arah.
Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk,
Bersemayam atau semacamnya
Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata: "Ar-Rahman
'ala al 'Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat (hakekat)-Nya dan
tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa (sifat-sifat makhluk) adalah
mustahil bagi-Nya" (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma' Wa
ash-Shifat).
Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha
suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di
suatu tempat dan arah dan sebagainya.
Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah
tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya.
Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan
Al Imam asy-Syafi'i -semoga Allah meridlainya– berkata: "Barang
siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini
bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah
musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.
Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang
mengaturnya) maka dia adalah mu'aththil -atheis- (orang yang meniadakan
Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang
menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak
akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang
mentauhidkan Allah); muslim". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan
lainnya)
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim
Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
-semoga Allah meridlai keduanya- berkata: "Apapun yang terlintas dalam
benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang
terlintas dalam benak)" (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan
al Khathib al Baghdadi)
Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah
Benda
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: "Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya
meriwayatkan perkataan asy-Syafi'i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -
semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang
yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda,
mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
"Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak
seperti benda-benda maka ia telah kafir" (dinukil oleh Badr ad-Din az-
Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi'i
dalam kitab Tasynif al Masami' dari pengarang kitab al Khishal dari
kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn
Hanbal). Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari dalam karyanya an-Nawadir
mengatakan : "Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda
maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya".
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota
badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-
321 H) berkata: "Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun
besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).
Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah
penjuru tersebut".
Perkataan al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi di atas merupakan
Ijma' (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada
tiga abad pertama hijriyah).
Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah
maksud dari mi'raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu
dengan-Nya, melainkan maksud mi'raj adalah memuliakan Rasulullah
shalalllahu 'alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban
makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur'an surat al Isra
ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada
Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam sehingga jarak antara
keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat
kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam di saat mi'raj
adalah Jibril 'alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al
Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah 'Aisyah -semoga Allah
meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi'raj Ibnu 'Abbas dan Tanwir al
Miqbas min Tafsir Ibnu 'Abbas karena keduanya adalah kebohongan
belaka yang dinisbatkan kepadanya.
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya
ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah
berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa
dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana
apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah. Hal
ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena
ka'bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para
ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478
H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam
kitabnya Ihya 'Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.
756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.
Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan
bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang
berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau
pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati
makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma'
(konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-
Suyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya,
juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al
Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H), Syekh
Abdul Qadir al Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati,
mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang
berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah
Wahdah al Wujud dan Hulul.
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia
telah kafir".
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik,
duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah,
berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan
bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa
Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau
mengatakan bahwa kalam Allah yang azali (tidak mempunyai
permulaan) dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang
menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang
tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran.
Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Aqidah Imam Abul Hasan al Asy'ari
Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari (W. 324 H) –semoga Allah
meridlainya- berkata: "Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (diriwayatkan
oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat).

Beliau juga mengatakan : Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak
dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy'ari telah banyak
dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.
"Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta'ala di satu tempat atau di
semua tempat". Perkataan al Imam al Asy'ari ini dinukil oleh al Imam
Ibnu Furak (W. 406 H) dalam karyanya al Mujarrad.
Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad
berkata: "Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir
ayat al Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam
yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran".
Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur'an dan hadits Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang dalam bahasa arab
mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara
zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib
dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur'an
pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu
makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak
menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.
Ayat Istiwa'
Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara
zhahirnya adalah firman Allah ta'ala (surat Thaha: 5):
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau
bersemayam atau berada di atas 'Arsy dengan jarak atau bersentuhan
dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak
seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita,
karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda
sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi (W. 458 H), al
Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki (W. 756 H) dan al Hafizh
Ibnu Hajar (W. 852 H) dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri
dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut
harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras
dengan ayat-ayat Muhkamat.
Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke
dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa
mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim)
yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah
menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut
adalah qahara (menundukkan atau menguasai).
 Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada "al Qur'an dan
Terjemahnya" yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat
penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti ketika
mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk,
bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah:
255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil
maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al 'Aqidah ath-Thahawiyyah.
Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan:
"Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy untuk menampakkan
kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya".
Maka ayat tersebut di atas (surat Thaha: 5) boleh ditafsirkan
dengan qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai
'Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al
Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan
dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan
anak-anak mereka 'Abdul Qahir dan 'Abdul Qahhar. Tidak seorangpun
dari umat Islam yang menamakan anaknya 'Abd al jalis (al jalis adalah
nama bagi yang duduk). Karena duduk adalah sifat yang sama-sama
dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak
berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai 'arsy kemudian
menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali (tidak
mempunyai permulaan) sedangkan 'arsy adalah merupakan makhluk
yang baru (yang mempunyai permulaan). Dalam ayat ini, Allah
menyebut 'arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang
paling besar bentuknya.
Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa'
Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas,
kemudian beliau menjawab:
Maknanya: "Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /
bagaimana (sifat-sifat benda) mustahil bagi Allah". (diriwayatkan oleh
al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat)
Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha
suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan
sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul
adalah tidak benar.
Penegasan Imam Syafi'i tentang Orang yang Berkeyakinan
Allah duduk di atas 'Arsy
Ibn al Mu'allim al Qurasyi (W. 725 H) menyebutkan dalam
karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm
ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia
menukil dari al Qadli Husayn (W. 462 H) bahwa al Imam asy-Syafi'i
menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di
atas 'arsy dan tidak boleh shalat (makmum) di belakangnya.
Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa'
Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para
ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah. Di antaranya adalah al Imam
'Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak (W. 237 H) dalam kitabnya
Gharib al Qur'an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al
Hanafi (W. 333 H) dalam kitabnya Ta'wilat Ahlussunnah Wal Jama'ah,
az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab (W. 340 H) dalam kitabnya
Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafi'i (W. 505 H) dalam al Ihya, al
Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali (W. 597 H) dalam kitabnya Daf'u
Syubah at-Tasybih, al Imam Abu 'Amr ibn al Hajib al Maliki (W. 646 H)
dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi
al Indonesi asy-Syafi'i (W. 1285-1338 H) dalam Mawhibah dzi al Fadll,
Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al Indonesi asy-Syafi'i (W. 1314 H-
1897) dalam kitabnya at-Tafsir al Munir dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa' secara
Zhahirnya
Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara
zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al
Baqarah:
Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya: "ke
arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscaya
Allah ada di sana". Dengan ini berarti keyakinannya saling
bertentangan.3
Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang
sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah
manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut
adalah arah tujuannya maka - di sanalah kiblat Allah
sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid (W. 102 H) murid Ibn
Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi
dalam al Asma' Wa ash-Shifat.
Ayat 35 Surat an-Nur
Dan begitulah seluruh ayat-ayat mutasyabihat harus
dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat dan tidak boleh diambil
secara zhahirnya. Seperti firman Allah ta'ala dalam surat an-Nur: 35
Dia meyakini bahwa Allah ada di atas 'Arsy sesuai dengan zhahir ayat Istiwa' dan
pada saat yang sama ia meyakini bahwa Allah ada di bumi sesuai zhahir ayat 115 surat al
Baqarah ini. Dua keyakinan yang saling bertentangan ini diakibatkan oleh pemahaman secara
zhahir terhadap ayat Mutasyabihat. Jika ia memahami ayat 115 surat al Baqarah ini tidak
secara zhahirnya, mestinya ia juga memahami ayat istiwa tidak' secara zhahirnya.
tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah adalah cahaya atau Allah adalah
sinar. Karena kata cahaya dan sinar adalah khusus bagi makhluk.
Allah-lah yang telah menciptakan keduanya, maka Ia tidak menyerupai
keduanya. Tetapi makna ayat ini, bahwa Allah menerangi langit dan
bumi dengan cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang. Atau
maknanya, bahwa Allah adalah pemberi petunjuk penduduk langit,
yakni para malaikat dan pemberi petunjuk orang-orang mukmin dari
golongan manusia dan jin, yang berada di bumi yaitu petunjuk kepada
keimanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh 'Abdullah ibn Abbas –
semoga Allah meridlainya- salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma' Wa
as-Shifat.
Dengan demikian kita wajib mewaspadai kitab Mawlid al 'Arus
yang disebutkan di dalamnya bahwa "Allah menggenggam segenggam
cahaya wajah-Nya kemudian berkata kepadanya: jadilah engkau
Muhammad, maka ia menjadi Muhammad". Ini adalah kekufuran wal
'iyadzu billah karena menjadikan Allah sebagai cahaya dan nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam bagian dari-Nya. Kitab ini
merupakan kebohongan yang dinisbatkan kepada al Hafizh Ibn al
Jawzi, tidak seorangpun menisbatkannya kepada al Hafizh Ibn al
Jawzi kecuali seorang orientalis yang bernama Brockelmann.
Bagaimanakah Cara Mengenal Allah (Ma'rifatullah) ?
Al Imam ar-Rifa'i berkata: "Batas akhir pengetahuan seorang hamba
tentang Allah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala ada tanpa bagaimana
 (sifat-sifat makhluk) dan ada tanpa tempat". (Disebutkan oleh al
Imam ar-Rifa'i dalam kitabnya Hal Ahl al Haqiqah ma'a Allah).
Karena seandainya Allah bertempat niscaya banyak sekali yang
menyerupainya.
Maka barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya tidaklah diterima ibadahnya sebagaimana perkataan al Imam al
Ghazali: "Tidaklah sah ibadah seseorang kecuali setelah ia mengetahui
Allah yang ia sembah". Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini (W.
471 H) dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, h. 98 mengutip perkataan
al Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- bahwa dia
berkata tentang Allah :
Maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al
kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana".
Al Imam Abu Manshur Al Baghdadi (W. 429 H) dalam kitabnya
al Farq Bayna al Firaq h. 256, berkata: "Sesungguhnya Ahlussunnah telah
sepakat bahwa Allah tidak diliputi tempat dan tidak dilalui oleh waktu".
Al Imam Syekh Abd Allah Ba 'Alawi al Haddad (W. 1132 H)
dalam bagian akhir kitabnya an-Nasha-ih ad-Diniyyah menuturkan:
"Aqidah ringkas yang bermanfaat -Insya Allah ta'ala- menurut jalan golongan
yang selamat. Mereka adalah golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah, golongan
mayoritas umat Islam. Kemudian beliau -semoga Allah meridlainya–
berkata:
Maknanya: "Sesungguhnya Ia (Allah) ta'ala Maha suci dari zaman,
tempat dan maha suci dari menyerupai akwan (sifat berkumpul, berpisah,
bergerak dan diam) dan tidak diliputi oleh satu arah penjuru maupun
semua arah penjuru".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al
Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
Maknanya: "Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang
Allah), maka Allah tidak seperti itu".
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al
Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I'tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn
Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al
Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah
yang merupakan Ijma' (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat
dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta
segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Sebagaimana kita tidak bisa membayangkan suatu masa –
sedangkan masa adalah makhluk- yang di dalamnya tidak ada cahaya
dan kegelapan. Akan tetapi kita beriman dan membenarkan bahwa
cahaya dan kegelapan, keduanya memiliki permulaan. Keduanya tidak
ada kemudian menjadi ada. Allah-lah yang menciptakan keduanya.
Allah berfirman dalam al Qur'an:
Maknanya: "… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"
(Q.S. al An'am: 1)
Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih
utama kita beriman dan percaya bahwa Allah ada tanpa tempat dan
arah serta tidak bisa kita bayangkan.
Imam kita Abu Bakr ash-Shiddiq -semoga Allah meridlainyaberkata
yang maknanya: "Pengakuan bahwa pemahaman seseorang
tidak mampu untuk sampai mengetahui hakekat Allah adalah
keimanan, sedangkan mencari tahu tentang hakekat Allah, yakni
membayangkan-Nya adalah kekufuran dan syirik".
Maksudnya adalah kita beriman bahwa Allah ada tidak seperti
makhluk-Nya, tanpa memikirkan tentang Dzat (Hakekat)-Nya.
Adapun berpikir tentang makhluk Allah adalah hal yang dianjurkan
karena segala sesuatu merupakan tanda akan ada-Nya. Perkataan
Sayyidina Abu Bakr -semoga Allah meridlainya- tersebut diriwayatkan
oleh seorang ahli Fiqih dan hadits al Imam Badr ad-Din az-Zarkasyi
as-Syafi'i (W. 794 H) dan lainnya.
Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan
Wahdatul Wujud
Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah
tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan
tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan
sesuatupun dari makhluk-Nya".4
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinyadalam
kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata: "Barangsiapa yang mengatakan
bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia
telah kafir".
Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi
pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya
aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada)
kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam
kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).
Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua
perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam
hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan
makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam
Inilah kebenaran yang tidak mungkin dibantah dan ditolak. Namun terdapat
sebagian kelompok yang menyalahi pernyataan ulama Ahlussunnah ini, di antaranya yang
dikenal dengan nama Wahidiyyah. Mereka membagi-bagikan selebaran yang memuat perkataan
mereka: yang maknanya : Ya Allah kami memohon kepada-Mu untuk
menenggelamkan kami ke tengah lautan (menyatu dengan- Mu). Redaksi-redaksi semacam ini (bahkan
dalam bahasa Indonesia) juga banyak terdapat dalam majalah mereka. Jelas ini adalah sebuah
kekufuran yang sharih dan menyalahi keyakinan para sufi hakiki.
mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang
disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka".
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud
yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah
sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan
dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran
"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam
keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan
muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia
tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan
menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al
Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib
Abi al 'Alamain.
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah
ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-
Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar-
Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah
menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan
fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib
dijauhi".
Di antara para pendusta yang mengaku sebagai ahli tasawwuf adalah orang yang
bernama Abdullah ad-Daghistani. Ia bukanlah sunni sebagaimana dinyatakan oleh Syekh
Muhammad Zahid an-Naqsyabandi. Abdullah ad-Daghistani keluar dari Daghistan dan
mengaku sebagai seorang sunni, pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyyah padahal sanadnya
terputus, tidak bersambung. Mufti Daghistan terdahulu Sayyid Ahmad ibn Sulaiman Darwisy
Hajiyu memperingatkan umat Islam akan bahaya dan kesesatan Abdullah ad-Dagistani ini.
Abdullah ad-Daghistani punya beberapa pengikut, di antaranya Nazhim al-Qubrushshi.
Nazhim kemudian mempunyai murid, di antaranya Hisyam Qabbani yang menyebut dirinya
al-Haqqani, juga saudaranya 'Adnan Qabbani. Mereka ini termasuk orang yang paling bodoh
tentang agama, dan karenanya para ulama Ahlussunnah memperingatkan masyarakat akan
bahaya dan kesesatan mereka. Bahkan Mufti Tripoli Lebanon menulis komentarnya di
majalah al Afkar agar masyarakat mewaspadai dan tidak tertipu oleh mereka, karena mereka
ini mengaku mengetahui ilmu ghaib dan menganggap bahwa hamba ini adalah bagian dari
Dzat Allah, mereka mengatakan bahwa orang kafir jika membaca al Fatihah maka akan
memperoleh keutamaan dan anugerah dari Allah yang belum pernah diperoleh oleh para nabi,
dan barangsiapa yang membaca ayat.......sekali saja ia akan memperoleh anugerah yang
belum pernah diperoleh olah para nabi dan para wali, serta masih banyak kekufurankekufuran
mereka yang lain. Alhamdulillah para ulama Indonesia, khususnya para pengikut
Thariqah Naqsyabandiyah telah menyadari kesesatan mereka ini dan memperingatkan
masyarakat akan bahaya dan kesesatan mereka. Kesesatan-kesesatan ini bisa dilihat dalam
buku-buku mereka seperti Muhithat ar-Rahmah, al Washiyyah dan lain-lain.
Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah
merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud
(ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam
keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan
meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa
yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab
Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan
Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan
kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-
Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari
para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain.6
Salah seorang yang menyalahi aqidah ini adalah Muhammad Sa'id al Buthi. Dalam
beberapa bukunya dia menegaskan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya (Hulul)
dan bahwa Allah adalah benda (jism). Ia juga menamakan Allah dengan 'illah dan sabab, dan ini
adalah kekufuran sebagaimana dikatakan oleh al Imam Rukn al Islam Ali as-Sughdi, al Imam
an-Nasafi dan lain-lain. Al Buthi menuturkan aqidah sesatnya ini dalam bukunya Kubra al
Yaqiniyyat al Kauniyyah, Min al Fikr wa al Qalb. Dan banyak kesesatan-kesesatan al Buthi yang
lain seperti: bahwa ia mengingkari adanya Bid'ah Hasanah dalam bukunya al Islam Maladz Kull
al Mujtama'at al Insaniyyah. Ia juga mengatakan di majalah al Wahj, edisi Juni 1995: "Apabila ada
teks al Qur'an yang jelas bertentangan dengan ketetapan ilmiah yang jelas, maka saya mengatakan: kita
tidak perlu mentakwil al Qur'an, tetapi kita tinggalkan al Qur'an dan mengambil ketetapan ilmiah
tersebut". Al Buthi juga berkata kepada seorang yang mempraktekkan sihir kemudian datang
kepadanya seorang jin perempuan lalu ia berzina dengannya: "Bacalah mantra-mantramu berulang
kali supaya jin perempuan tersebut datang kepadamu". Lihat Majalah Thabibak, edisi Juli 1998 dan
masih banyak lagi kesesatan-kesesatan al Buthi. Telah banyak para ulama terkemuka yang
mambantahnya, di antaranya adalah al 'Alim al Lughawi (ahli Bahasa Arab), Syekh Nayif al
'Abbas ad-Dimasyqi, Syekh Usamah as-Sayyid asy-Syami, K.H. M. Syafi'i Hadzami (Mantan
Ketua Umum MUI Prop. DKI Jakarta) dan yang lainnya.
www.darulfatwa.org.au

Tidak ada komentar:

Posting Komentar